Foto dari Kumparan
Dalam kisah penerima SATU Indonesia Awards ASTRA selalu ada hal positif dan unik.
Salah satunya Ami, panggilan sehari-hari Amilia, pada tahun 2010 di Bandung, waktu itu Ami ada pelajaran olahraga di sekolahnya. Guru olahraga meminta seluruh muridnya, termasuk Ami, untuk lari berkeliling kompleks sekolah. Kemudian, di satu titik rute lari, Ami tak sengaja melihat seorang Bapak sedang makan di dekat gerobak berisi penuh sampah.
Terbersit di pikiran Ami, jangan-jangan sampahnya dari sekolah kita lagi. Jika bapaknya sakit, kita ikut kena dosa juga. Ami lalu bercerita ke guru biologi yang merangkap sebagai pembimbingnya di ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) yaitu Ibu Nia. Kata Ami, saat itu kampanye zerowaste atau upaya minimalisasi produksi sampah belum populer di kalangan anak muda pas tahun 2008 itu.
Ami berdiskusi dengan Ibu Nia sampahnya bisa kita apakan ya Bu. Ibu Nia menyarankan Ami dan teman-temannya di ekstrakurikuler KIR untuk mendatangi Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) bergerak di bidang pengomposan dan pemilahan sampah.
Sejak itulah Ami dan teman-temannya rutin belajar di YPBB, hingga menginspirasi mereka untuk membuat tempat pemilahan sampah organik dan anorganik.
Pada 2008, kita bikin di tiap kelas kardus-kardus untuk mewadahi sampah organik dan anorganik. Tapi itu pun dihina-dina gak semua niat baik ditanggapin dengan baik kata Ami. Guru-guru Ami saat itu pun sempat memprotesnya karena penggunaan kardus sebagai tempat sampah dinilai kurang estetis, terlihat gak rapi.
Lalu kardusnya dibungkus pakai kertas kado. Tapi ternyata masih suka ditendang-tendang sama anak lelaki yang suka main bola, kata Ami. Pengalaman pahit itu membuat Ami dan teman-temannya menyadari bahwa kampanye pemilahan sampah ternyata sangat berat jika dilakukan oleh sedikit orang.
Lalu Ami punya ide untuk mengkampanyekan masalah sampah ini saat Masa Orientasi Sekolah (MOS) di sekolahnya. Pas waktu itu Ami belum berani ngomong, jadi pakai wayang-wayangan, Ami yang saat itu baru naik ke kelas 8.
Suatu waktu usai berdiskusi, Ami dan teman-temannya sepakat membentuk subdivisi baru di ekstrakurikuler KIR yang berkegiatan di bidang pengelolaan sampah di sekolah. Subdivisi itu dinamai 'Sekolah Bebas Sampah' atau 'Go to Zerowaste School'. Anggotanya kian bertambah hingga berjumlah 10 orang. Sejak itu mereka kerap diajak sang pembimbing, Ibu Nia, untuk memperkenalkan programnya di berbagai acara bersama para guru.
Ami dan teman-temannya mencari cara untuk mengubah sampah-sampah yang mereka kumpulkan menjadi barang yang bisa digunakan kembali/daur ulang. Saat itu, menjelang naik ke kelas 9, Ami tahu bahwa seorang teman yang tinggal tak jauh dari sekolahnya, berasal dari keluarga kurang mampu. Dari kondisi ini, Ami punya ide untuk memberdayakan ibu temannya itu untuk mendaur ulang sampah. Ibunya juga punya teman-teman yang bisa kita ikutan dalam proses daur ulang sampah itu.
Mereka mengajak ibu-ibu itu untuk membuat tas dengan bahan dasar sampah bungkus kopi. Ami juga mengajak mereka untuk mengenalkan produk-produk daur ulang itu saat pembagian rapor dengan cara membuka stan di sekolah.
Semua upaya yang dilakukan Ami dan teman-temannya sejak awal telah menggugah Ibu Nia untuk mendaftarkan mereka dalam kompetisi SATU Indonesia Awards 2010 di bidang lingkungan. Ami menyetujuinya, namun dia mengira itu hanya kompetisi antar anak sekolah yang sudah biasa digelar. Ami berhasil terpilih menjadi penerima Astra Satu Indonesia Award di bidang lingkungan, serta mencatatkan namanya sebagai peraih termuda penghargaan tersebut. Apa yang Dilakukan Ami usai Raih Astra Satu Indonesia Award sekarang, Ami tak ingin menyia-nyiakan sejumlah dana yang didapat dari penghargaan itu. Dia memanfaatkannya dengan membeli mesin jahit untuk digunakan para ibu yang bekerja mendaur ulang sampah.
Sekarang, Sekolah Bebas Sampah yang Ami rintis bersama teman-temannya sudah berjalan lintas generasi. Sehingga kegiatan pengelolaan sampah di sekolah itu tetap berlangsung meski Ami sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) lagi.
Ami mendirikan komunitas Bandung Bercerita selepas SMA. Komunitas itu punya kegiatan mendidik anak-anak yang biasa bermukim di dekat rel kereta api di Kota Bandung. Kita bikin kurikulum di Bandung Bercerita, supaya anak makin pede/percaya diri dengan apa yang dia punya. Kita percaya anak-anak punya kecerdasan yang beda-beda. Teman-teman yang jago nyanyi kita ajak, teman-teman yang jago gambar kita ajak kata Ami.
Keinginan selalu bermanfaat bagi lingkungan membuat Ami hanya ingin bekerja di divisi Corporate Social Responsibility (CSR), jika dia memang harus bekerja di kantor. Akhirnya Ami mendaftar di CSR Astra. Meski pernah meraih penghargaan dari perusahaan tersebut, Ami tetap mengikuti seleksi. Karena basic aku bukan anak sains, tapi ternyata Astra menyebar lamaran Ami ke beberapa anak perusahaannya. Ami diterima di divisi CSR salah satu anak perusahaan Astra, PAMA, setelah melalui tujuh kali tahap wawancara. Di perusahaan itu pun Ami tetap mengkampanyekan masalah lingkungan. Jika main-main ke PAMA, enggak ada disediakan lagi plastik, enggak ada gula plastik. Belanja di koperasi enggak ada plastik, sampahnya dipilah. Jadi kalau nemu tong sampah di PAMA, itu desainnya bagian timnya Ami. Jika semua anak muda berpikiran yang sama, tentunya lingkungan lebih bersih dan sampah terolah dengan baik. Bener pasti Indonesia bakalan zero waste ya. Kata Ami sampah gak selamanya jadi masalah jika diolah dengan tepat.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya
Mohon tidak meninggalkan link hidup