Dewis adalah guru ekstrakurikuler TIK di SDN 10 Regol Garut, Jawa Barat, ruang kelas kecil hanya berukuran 6 x 6 meter. Meski terbatas, ruangan tersebut sekaligus dijadikan laboratorium komputer. Sehari-hari Dewis adalah pengelola agroforestry/wanatani.
Dewis juga memiliki lahan kebun yang ditanami teh dan jamur di Garut, keren ya. Di tengah kesibukan mengurus kebun, Dewis aktif menjadi tenaga pengajar di SDN Regol 10 sejak 2014. Dulu SDN Regol 10 hanya memiliki 1 unit komputer, dan dipakai untuk administrasi sekolah.
Pengajaran TIK (teknologi informasi dan komunikasi) di sekolah hanya menggunakan teori. Tanpa praktik, bikin anak murid cepat bosan. Ketika jumlah komputer bertambah menjadi tiga unit, anak-anak juga hanya belajar pembuatan dokumen dengan Microsoft Office.
TIK itu butuk praktek, anak-anak diajari sesuatu yang lebih luas agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan perubahan teknologi digital yang cepat.
Di SDN Regol 10 Dewis mendirikan kelompok ekstrakurikuler yang bernama STEAM Club. STEAM (Science, Technology, Engineering, Art &Math). Dewis pun berusaha mengajarkan pemrograman untuk siswa SD kelas V. Dari situ, anak-anak tak hanya belajar hal-hal mendasar mengenai komputer. Murid-murid juga diajari membuat berbagai aplikasi komputer.
Mengajari anak yang punya komputer di rumah itu gampang karena sudah terbiasa, beda dengan anak yang tak punya komputer di rumah yang mengetik pakai keyboard saja mereka lama dan agak susah. Bahkan lama waktu hanya untuk mengetik satu kalimat saja.
Dewis melihat bahwa semangat para siswa untuk belajar TIK sangat tinggi. Anak-anak yang sudah mahir komputer tak keberatan jika diminta untuk mengajari temannya. Anak-anak yang kurang mengenal komputer juga tak mudah putus asa untuk belajar mengetik dan mengenal program. Mereka terkadang lebih mudah memahami pelajaran komputerisasi digitalisasi dari temannya ketimbang dari guru.
Para siswa pun mulai belajar coding, membuat perintah dan aplikasinya lewat komputer. Mereka mencoba membuat aplikasi. Yang kali pertama dibuat adalah aplikasi Saron Simulator. Yaitu aplikasi Android yang dibuat untuk memudahkan siswa yang ingin bermain gamelan. Gamelan asli itu kan alatnya besar-besar dan berat juga harganya mahal.
Saron Simulator terbuat dari bahan yang sederhana. Misalnya akrilik dan papan kayu yang bisa juga disubstitusikan dengan papan plastik. Untuk suara alat-alat gamelan, diambil terlebih dahulu sampelnya dengan direkam menggunakan ponsel Android. Sampel suara itu dimasukkan ke aplikasi menggunakan coding. Nanti dari komputer muncul suara yang menyerupai alat gamelan yang sudah direkam, ujar Dewis.
Saron Simulator dimainkan seperti alat gamelan biasa, bentuknya lebih tipis saja. Saron simulator terus ditambah alat-alat music lainnya,
yaitu: peking, bonang, jengglong, gong dan kempul. Nah penemuan Dewis ini membuatnya mendapatkan anugerah SATU ASTRA di 2016. Dengan inovasinya tersebut Dewis juga sukses mendapatkan penghargaan Inaicta (Indonesia ICT Awards) 2014 juga Apicta (Asia Pasific ICT Alliance Award) di tahun yang sama.
Jika banyak guru kreatif seperti Dewis ini, wah dijamin Indonesia makin maju dan murid-muridnya kreatif inovatif. Garut sekarang makin berkembang, kotanya sudah sangat rame dan fasilitas teknologi digital juga sudah menjangkau luas semua daerah di Garut.
"it's not what you know, but what you do" (bukanlah apa yang kamu tahu tapi apa yang kamu lakukan)
Bisa follow juga akun instagramnya @dewisakbar. Beliau sekarang juga aktif dalam karya sains
teknologi digital dan penggagas lab on Bike.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya
Mohon tidak meninggalkan link hidup